Setiap manusia pada dasarnya dikaruniai potensi kecerdasan agar dirinya sebagai individu bisa beradaptasi dengan lingkungan. Setiap manusia memiliki keunikan dan kecerdasan yang berbeda yang siap dikembangkan untuk disumbangkan dalam bentuk keterampilan kepada kehidupan. Perbedaan keunikan inilah yang menjadikan manusia saling belajar dan memberi keterampilan agar kehidupan ini menjadi dinamis dan bermakna. Kelebihan pada satu orang tidak dimiliki oleh orang lainnya dan sebaliknya.
Hanya saja, potensi kecerdasan atau keunikan itu sering kali tidak teraktualisasikan seiring dengan waktu dan tempat di mana seseorang itu tinggal. Lingkungan keluarga dan sekolah dengan metode pembelajarannya justru sering sekali ”membenamkan” potensi seorang siswa. Tidak jarang, pembelajaran di sekolah baik secara langsung atau tidak, menghasilkan persepsi keliru pada siswa: ”Akulah siswa yang pantas gagal!” atau ”Akulah anak paling bodoh di kelas ini!”
Ketika sebuah pembelajaran menghasilkan persepsi keliru seperti itu yang kemudian siswa meyakininya bahwa dirinya adalah ”anak bodoh” selama persepsi itu belum dirubah, selama itu pula potensi unik siswa sulit untuk berkembang. Persepsi keliru itu tersimpan di pikiran bawah sadar (batin) si anak yang menjadi operating system perilaku dirinya: begitu menghadapi soal yang sedikit sulit saja, ia segera menggunakan operating system-nya ”bahwa aku anak bodoh yang tidak mungkin mengerjakan soal seperti itu”.
Bagaimana merubah persepsi keliru itu? NLP atau neuro linguistic programming adalah cabang ilmu psikologi kognitif yang mempelajari dan memberikan sejumlah alat untuk merubah persepsi keliru. Dengan pendekatan NLP seseorang dapat merubah pola pikir keliru menuju pola pikir yang benar, dan memberdayakan diri. NLP memberikan sejumlah tools, agar persepsi keliru tentang dirinya dan tentang orang lain benar-benar memberayakan, bukan menjerumuskan.
Map is not Territory
Dalam NLP dikenal sebuah asumsi yang popular, map is not territory, peta bukanlah wilayah itu sendiri atau persepsi bukanlah realitas itu sendiri. Perssepsi adalah apa yang kita bayangkan dan rasakan dalam benak kita. Apa yang kita bayangkan berbeda dengan objek itu sendiri. Apa yang kita bayangkan atau persepsikan tergantung pada pengalaman subjektif kita. Contoh kata ”Gagal”, masing-masing orang berbeda menafsirkannya, ada yang menafsirkannya berarti ”menyerah dan tidak ada upaya lagi” namun bagi orang yang bermental sukses berarti, ”melipatkangandakan komitmen untuk bangkit lagi”.
Map is not territory, berarti juga segala sesuatu di luar pikiran (objek) itu netral adanya, hanya pikiran yang membuat makna. Contoh, apabila suatu pagi yang cerah Anda mendapatkan seonggok tas kresek (tas plastik) di halaman depan rumah. Anda penasaran ingin tahu apa isinya. Setelah dibuka, ternyata kotoran sapi! Dan berlebel ”Kiriman tetangga sebelah”. Anda marah? Boleh jadi apalagi tetangga itu sudah dikenal reseh dan suka usil. Namun demikian, boleh jadi tidak marah alih-alih mengucapkan ”Alhamdulillah” kotoran itu untuk dijadikan pupuk bunga di halaman belakang. Yang ingin saya katakan bahwa barangnya atau objeknya sama yakni tas kresek berisi kotoran sapi, namun marah atau tidaknya sangat tergantung pada pikiran kita dalam memberikan makna atau persepsi pada objek itu.
Map is not territory dapat diartikan pula “peta menentukan wilayah”. Pengertian ini berbeda dengan pengertian di bidang geografi yang berarti “wilayah menentukan peta”. Peta dalam pengertian NLP berarti “apa yang dipersepsikan” menentukan “tindakan”. Marah atau tidaknya seserorang terhadap tas kresek tadi tegantung apa yang dipersepsikan. Bila Anda menganggap sebagai bentuk ”penghinaan” Anda bisa marah namun bila menganggap sebagai ”pupuk”, Anda akan bersyukur.
Intinya manusia bertindak berdasarkan persepsinya, berdasarkan apa yang ada dalam benaknya, bukan bertindak karena objek-itu sendiri. Sebab, sekali lagi, objeknya tetap tetapi setiap orang punya persepsi yang berbeda terhadap objek itu.
Anatomi Pembodohan
Kenapa seorang siswa menjadi bodoh? Secara genetik mungkin iya. Namun, menurut hemat saya, lebih banyak karena persepsi yang keliru atau persepsi negatif si anak terhadap dirinya sendiri. Tidak sedikit siswa yang secara potensial itu cerdas tetapi karena menganggap (persepsi) yang keliru menjadikan dirinya terperangkap dalam pembodohan diri. Bila seorang anak terlanjur menganggap dirinya bahwa ”anak kampung”, ”anak gembel”, ”anak cacad”, ”anak tidak bakat”, bodoh”, dan persepsi negatif lainnya, maka selama itu pula ia tidak bisa berkembang karena terbelenggu oleh persepsinya sendiri.
Dari mana persepsi keliru itu terjadi? Dari lingkungan, sekolah, keluarga, dan orang-orang sekitar seperti guru, orang tua dan teman sebaya yang secara intens mempengaruhinya. Lingkungan adalah pembentuk atau programer bagi diri siswa yang paling berpengaruh. Misal, suatu ketika seorang siswa tidak dapat mengerjakan PR (pekerjaan rumah) lantas dimarahi sambil diamaki-maki ”Kamu bodoh!” oleh orang tua, saudara dan teman kelasnya, maka di situlah mulai bersemi dalam benaknya, ”bahwa aku anak bodoh!”
Kata ”bodoh” itu sendiri netral, dan hanya lima huruf. Kata itu tidak bernyawa dan apa adanya. Namun, bila kata itu diucapkan dengan intonasi tepat (seperti mamaki), dalam intensitas emosional yang tinggi dan ditujukan pada seorang anak, maka si anak mulai membuat makna, mulai membuat persepsi bahwa dirinya adalah ”anak bodoh”. Makian yang intens atau terlalu sering ditambah pengalaman seorang anak yang memang sering salah dalam mengerjakan PR-nya, maka di situlah muncul perubahan status ”persepsi bodoh” menjadi ”keyakinan bahwa dirinya benar-benar bodoh”.
Apabila persepsi sudah menjadi keyakinan (belief system) di batin siswa maka keyakinan inilah yang akan menjerumuskan hidupnya. Kalau seorang anak sudah terlanjur yakin bahwa dirinya adalah anak bodoh, sudah memvonis diri bahwa dirinya tidak pantas sukses, ia menjadi anak pesimis atau anak yang tidak percaya bahwa dirinya secara potensial itu cerdas. Contoh, bila ada seorang siswa yang sudah merasa bahwa dirinya tidak bakat Bahasa Inggris, meski diberi kesempatan kursus gratis pun ia akan menolak!
Di dalam diri siswa, dalam pikiran bawah sadar siswa banyak bersemayam keyakinan negatif, penghambat kemajuan belajar. Dalam pikiran bawah sadar siswa atau batin siswa banyak file negatif atau virus-virus yang merusak dan menghambat berkembangnya potensi diri. Dimulai dari merasa bodoh, merasa tidak percaya diri, pesimis, hingga muncul rasa takut untuk mencoba dan takut bertanya kepada guru. Apabila virus-virus itu tetap dibiarkan, maka pembodohan diri sedang berlangsung.
Bangun Prestasi Kecil Harian
Sekali lagi saya tekankan bahwa segala sesuatu (objek) di luar pikiran itu netral adanya, hanya pikiran –karena pengalaman subjektifnya—yang membuat persepsi. Seseorang menjadi marah atau malah berterimah kasih karena tas kresek berisi kotoran, karena pengalaman subjektifnya. Seorang siswa merasa bodoh juga karena pengalaman subjektifnya yakni sering dimaki bodoh dan punya banyak pengalaman mengerjakan PR tidak bisa misalnya.
Lebih dari itu sesungguhnya kenapa seseorang sampai terperangkap dalam persepsi negatif? Karena ia memaknainya secara negatif. Ia membingkai pengalamannya secara negatif atau keliru. Kalau segala sesuatunya (objek) adalah netral maka sesungguhnya seseorang memiliki pilihan: membingkai persepsinya secara negatif atau positif. Apabila seorang siswa setiap saat mendapatkan pengalaman buruk (dimaki bodoh pada saat tidak dapat mengerjakan PR) membingkainya secara negatif maka yang muncul kemudian adalah keyakinan negatif (dirinya bodoh). Sebaliknya apabila ia membingkainya secara positif, maka beda hasilnya yakni makian bodoh justru diartikan sebagai pemicu untuk membuktikan bahwa dirinya adalah anak pintar. Ia bebas memilih, bingkai mana yang hendak digunakan.
Meskipun demikian, adalah tidak mudah untuk memilih bagi seorang anak. Ia cenderung membingkai pengalamanya secara negatif saat dimaki-maki. Sebab, pada umumnya anak-anak khususnya pada saat masih SD, ketika dimaki secara intens bahwa ia bodoh, ia langsung mempercayainya. Pikiran kritisnya belum mampu menolak bahwa misalnya, ia memang bodoh di bidang matematika, tetapi ia cerdas di bidang bahasa, seni atau yang lain. Sepanjang tidak ada orang lain yang memberi tahu bahwa ia sesungguhnya anak cerdas di bidang seni dan bahasa, atau ia sesungguhnya bisa matematika asal tekun dan sabar, maka persepsi negatif tetap terbingkai menjadi keyakinan keliru. Singkatnya, guru hendaknya membantu membingkai ulang agar siswa tidak terjerumus dalam persepsi keliru/keyakinan keliru.
Caranya, bangun keyakinan baru bahwa sesungguhnya ia pun cerdas. Bangun pemahaman baru tentang dirinya bahwa ia bukan anak bodoh agar mulai mucul rasa percaya diri. Upayakan ia memiliki prestasi kecil harian, seperti mampu mngerjakan PR, mampu tepat waktu, mampu bertanya, mampu menulis karangan kecil, mampu membuat kerajinan, mampu memenangkan lomba-lomba tingkat kelas dan lain-lain. Demikian juga orang tuanya, harus memberikan kesempatan padanya untuk berpresatasi kecil di rumah.
Semakin sering seorang anak mampu menciptakan prestasi harian, rasa percaya dirinya naik. Persepsi tentang dirinya bodoh lambat laun mulai terkikis. Sampai akhirnya ia memiliki persepsi yang benar atas dirinya seperti; ”Kalau orang lain bisa aku juga bisa”, ”Aku bisa matematika asal tekun”, ”Aku agak lambat dalam memahami matematika tetapi cepat dalam pelajaran bahasa” dan lain-lain. Pada akhirnya, ia akan berjanji pada dirinya, ”Aku ingin membuktikan pada dunia bahwa aku bisa!”. Optimisme yang dibangun berdasarkan prestasi harian akan mampu menghancurkan virus-virus penghambat kemajuan anak.
Melalui prestasi harian itu, seorang anak akan memiliki keyakinan positif terhadap dirinya. Bila keyakinan positif muncul, ia akn mengerjakan segala sesuatunya dengan lebih baik (usahanya akan naik); bila naik usahanya maka naik pula hasilnya, bila naik maka keyakinannya pun naik dan seterusnya. Sampai di sini saya ingin mengatakan bahwa keyakinan positif akan menghancurkan segala bentuk virus pembodohan diri.
Bangkitlah anak Indonesia, Kita bisa!
0 comments:
Post a Comment